Perkawinana itu kudus.
Itulah pendapat kita terhadap peristiwa di mana seorang lelaki dan
perempuan pilihannya mengikat diri
dengan sebuah status baru bernama perkawinan. Kedua individu berbeda itu kini
tergantung satu dengan yang lain, suami terhadap isteri dan isteri terhadap
suami. Setelah menerima pemberkatan
perkawinan dari gerejaNya, mereka yang dulunya tinggal berpisah, kemudian
tinggal dalam satu rumah.
Waktu yang akan ditempuh
suami isteri muda itu ke depan sangat panjang, Kalau misalnya Rosa dan Herry,
melaksanakan pernikahan pada usia 25 tahun, sementara mereka memiliki umur 60 tahun
saja, berarti mereka akan hidup bersama lebih kurang 35 tahun. Waktu itu
bukanlah singkat, sebab begitu banyak kegiatan dan pergumulan ditengah setiap
keluarga. Seorang ibu, tidak pernah terlepas dari mengandung setiap anak yang
dia kasihi 8-9 bulan. Memelihara anak yang baru lahir tersebut dengan sangat
hati hati hingga 5 tahun. Kemudian mengajari dan mengarahkannya mengenal mana
yang benar mana yang salah, mana yang
baik mana yang buruk, sebab sesungguhnya pendidikan yang paling dasar
justru pada keluarga. Sedikitnya seorang ibu bergelut untuk membesarkan
anak-anaknya 15 tahun. Pada hal dia masih harus melayani suaminya, mengurus
rumah tangga dan yang lain.
Demikian juga seorang suami
yang baik. Dari padanya dituntut tanggungjawab yang sama seperti tanggungjawab
isteri terhadap anak serta keluarga. Beban keuangan, keamanan keluarga,
menentukan arah segala program demi kemajuan keluarga. Mengupayakan hari depan
anak-anaknya, tentu tidak pernah terluput darinya.
Untuk seluruh yang kita
perbincangkan di atas benar benar dibutuhkan pengertian yang matang. Untuk
itulah dalam liturgi pemberkatan perkawinan dimintakan Agar Herry benar benar mengasihi Rosa sebagai isterinya,
sebagaimana Kristus telah mengasihi gereja bahkan memberikan hidupnya sebagai
tebusan atas umatnya (Efesus 5:22) Herry juga sebagai suami harus
mengasihi Rosa
isterinya isterinya itu sama seperti tubuhnya sendiri: sebab Siapa yang
mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.
Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya
dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, 5:28-29.
Kepada
Rosa pendeta meminta komitmen agar benar benar setia (tunduk) kepada Herry sebagai Suaminya. Paulus
berkata Hai isteri, tunduklah kepada
suamimu seperti kepada Tuhan, karena
suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah
yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus,
demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah
isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah (Efesus 5:22-25).
Pada
zaman persamaan hak, sekarang ini mungkin istilah “tunduk” kepada suami tidak pas lagi, dan banyak orang
menyoal ayat ini. Namun Paulus bukanlah seorang yang anti terhadap perbaikan
kedudukan perempuan. Yang jelas mau dikatakan agar wanita benar-benar setia
terhadap suaminya. Bukankah sering kita mendengar di awal perkawinan isterinya
tunduk dan setia tetapi kemudian menanduk? Tunduk dan tanduk, dua kata yang
sangat berlawanan walaupun penulisannya
hampir serupa?.
Pendeta
senantiasa mengingatkan kedua pengantin tersebut agar suami misalnya, bersedia
memperlakukan isterinya dengan perlakuan menghargai memuliakan isterinya dan
tidak menceraikannya hingga kematian. Dan kepada isterinya dimintakan agar
jangan meninggalkan suaminya.
Konon
katanya tahun 540 an, saat raja Kores akan memulangkan orang Israel dari Babel
ke negeri mereka di Jehuda, maka raja tersebut memanggil seorang raja muda
beserta anak dan isterinya.
“Sekarang
aku membebaskan engkau raja muda, berangkatlah pulang ke negeri nenek moyangmu
agar engkau bisa kembali ke tengah kerajaanmu. Apakah yang akan kau berikan
kepadaku sebagai ucapan terimakasihmu?” Kata raja Kores tersebut.
“Terimakasih
baginda, atas kebaikan hati baginda memulangkan kami ke negeri leluhur kami
yang telah lama kami rindukan. Kalau baginda mengembalikan kami, saya akan
menyerahkan setengah dari harta yang kumiliki kepada Baginda” sahut raja muda
tersebut.
“Kalau
aku mengembalikan juga anak-anakmu ? apa yang akan kau berikan kepadamu”
“Oh
baginda.. mulia benar hatimu bagi kami rakyat buangan ini, kalau ikut juga anak
anakku engkau kembalikan ke negeri leluhur kami yang telah lama kami rindukan
itu, saya akan berikan seluruh harta yang kumiliki baginda”
“Yang
terakhir, kalau aku bermurah hati dan mengembalikan juga isterimu?”
“Oh..
yang mulia” raja muda itu meneteskan air mata dan menyembah raja tersebut
“Kalau baginda juga turut mengembalikan isteri hamba, maka hidupkupun yang tuan
minta akan saya berikan untuknya”.
Raja
Kores benar benar mengembalikan raja
muda tersebut, permaisuri dan
anak-anaknya. Dengan perasaan sangat kagum dan senang , raja muda itupun
bertanya kepada permaisurinya.
“Bagaimanakah
pendapatmu adinda, tentang keindahan istana raja yang sangat megah itu”
“Oh...
aku tidak melihat sesuatu apapun di istananya”
“Apa
adinda tidak melihat, permadani yang begitu indah?
“Tidak”
“apakah
adinda tidak melihat meja perjamuan raja yang dihiasi mangkuk emas dan anggur
yang enak?
“Tidak
baginda”
“Dinding
istana dari batu pualam yang kemilau, perhiasan perhiasan emas perak di istana
tersebut, pengawalnya dan seluruh yang ada di dalamnya?
“Tidak
Baginda”
“Jadi
apa yang kamu lihat?” kata raja tersebut begitu heran.
“Perhatianku
tak sedikitpun kepada kemegahan istana itu baginda, selain kepada dirimu
sendiri. Engkau begitu mencintai kami, anak-anak kita dan aku sendiri. Bagiku
itu merupakan keindahan yang tak pernah ditemukan di antara kekayaan raja-raja”
Raja
tersebut sangat terharu, dirangkulnya isteri dan anak anaknya yang dia kasihi
lebih dari dirinya sendiri.
Apakah
kita tidak patut meneladani raja muda tersebut? Bukankah dia bisa saja
meninggalkan anak isterinya begitu saja? Melepaskan tanggung jawab agar dia
bisa kawin lagi? Tetapi dia tidak pernah melakukan itu. Sekalipun dia mempuyai banyak keunggulan, kuasa namun
dia tidak mempergunakannya untuk merongrong keluarganya. Dia mengasihi darah
dagingnya dan isteri yang sekian lama
bersamanya membangun keluarga dalam suka dan duka.
Memang
keluarga menghadapi suka duka dalam
perkawinannya. Tidak ada keluarga yang sepanjang perjalannya tidak mengalami
kendala kendala. Bak kerikil tajam yang menusuk telapak kaki, bak angin besar
yang meredupkan motivasi nahkoda, atau bak mendung gelap yang menutupi sinar
matahari, tetapi tantangan tantangan itulah yang membuat mereka lebih matang
iabarat anak yang baru belajar berdiri terkadang berdiri dan kemudian terjatuh,
tetapi pada ahirnya otot-otot kakinya semakin kuat dan mampu menopang tubuhnya. Walupun sebuah keluarga pemula tidak
mengalami kendala dalam kewangan, mereka akan mengalaminya dari sisi yang lain.
Biasanya
pasangan muda itu akan berhadapan dengan kesulitan kesulitan, terbukanya
sifat-sifat keduanya, yang selama ini mungkin bisa disembunyikan, membangun
komunikasi yang bisa diterima keduanya bahkan fihak-fihak keluarga. Pola
berberbeda dalam gaya hidup kedua pasangan suatu ketika bisa menjadi akar
persoalan, disamping faktor lain seperti ekonomi krisis sosial dan sebagainya.
Dalam
catatan Alan Russel dalam Guinness Book of World Records
tahun l987 tercatat jumlah pasangan cerai tertinggi dari pasangan perkawinan
terjadi di Amerika tahun 1981 dengan
jumlah 1.213.000 atau sekitar 49.75 % dari jumlah perkawinan yang terjadi pada
tahun itu. Kemudian tahun 1984 dengan jumlah pasangan cerai 1.155.000 dengan
perkiraan 46.49 % dari jumlah keseluruhan perkawinan pada masa itu. Kurang
dapat dipastikan penyebab utama perceraian-perceraian tersebut, tetapi
orang-orang Amerika yakin bahwa penyebab utamanya adalah perobahan cara pandang
masyarakat Amerika terhadap kebahagian hidup, yang didukung oleh
perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini peran gereja semakin kecil
semantara persoalan ketegangan hubungan di kelaurga diambil over pemerintah
melalui peraturan-peraturannya.
Berbicara
masalah cara pandang yang berubah itu, artinya yang menjadi fokus utama
menentukan keutuhan keluarga bukan lagi berhubungan dengan ikatan-ikatan
dogmatis gerejani, tetapi kesesuaian dan keserasian menurut ukuran masing
masing. Tentu hal sedemikian didorong oleh menguatnya gaung hak azasi manusia
di mana-mana. Tetapi apakah hal itu bisa dibenarkan? Saya rasa tidak. Adanya
pemahaman bahwa Allahlah yang melantik dan mengukuhkan perkawinan tersebut
telah menjadi dasar yang sangat kuat dalam kurun waktu ribuan tahun, dengan
jumlah percerian yang lebih kecil. Memang sakit mengingat pengalaman pahit yang
bisa terjadi di tengah keluarga setelah bersama bertahun-tahun, tetapi juga
masih banyak yang perlu dipertimbangkan sehingga perkawinan yang menderita itu
dipertahankan. Setidaknya itu menjadi pelajaran bagi anak-anak. Jika peran
gereja semakin kecil, itu berarti fungsi Gereja untuk memberitakan kabar
sukacita dari Allah kepada keluarga mengalami penurunan. Benteng terakhir bagi
keutuhan gereja, sesungguhnya adalah Gereja.
Beberapa catatan di
bawah ini mungkin penting bagi pasangan suami istri:
1.
Suami istri seharusnya membatasi diri
untuk tidak berlebihan memiliki dan menguasai suami atau isterinya, termasuk
kepada harta kuasa atau jabatan. Sekali terjadi penguasaan seperti itu maka
mulailah terjadi perbenturan. Istri merasa bahwa ruang geraknya terbatas,
bahkan merasa perkawinannya menjadi penjara
menyedihkan. Perkawinan akan menjadi jerat-jerat yang menjatuhkan dan
membunuh. Termasuk juga penguasaan yang terlalu untuk meraih harta kuasa dan
jabatan, pada ahirnya akan mencelakai diri sendiri. Memang perlu harta dan
kuasa bahkan itu bisa mendrive kita untuk maju lebih baik lagi. Namun
harus sesuai degan kemampuan kita. Hidup ini
sama seperti babak-babak pada tampilan drama. Persoalan-persoalan akan
datang silih berganti, namun persoalan itu akan lebih mudah dihadapi dengan
jujur terhadap diri sendiri. Salah satunya menyadari bahwa rasa memiliki itu
harus kita kurangi, sebab toh pada ahirnya hidup ini akan diahiri dengan
perpisahan karena kematian
2.
Suami isteri harus memiliki kesiapan yang
tangguh menghadapi terpaan persoalan .
Semakin lama semakinterasa bahwa beban hidup juga mengalami kualitas dan
kuantitas yang semakin bertambah. Kehidupan sekarang lebih berat darri masa
puluhan tahun silam. Godaan-godaan yang
datang tak ayal bisa menghempaskan
rumah tangga kapan saja. Salah satu
contoh, bahwa bagi suami isteri yang sama sama bekerja di tempat yang
berlainan, maka si suami akan mempunyai kesempatan bertemu dengan wanita idaman
lain. Dan si isteri juga mempunyai banyak kesempatan bertemu dengan pria idaman lain. Tidak ada
jaminan bahwa setelah mendapat pemberkatan perkawinan, maka tak mungkin jatuh
cinta lagi kepada orang lain.
3.
Dalam menjaga keharmonisan keluarga
perlu sekali menyadari adanya perbedaan-perbedaan diantara keduanya. Kalau
mereka telah mampu menyadari perbedaan perbedaan tersebut mereka telah mampu
membangun suatu komunikasi yang jujur, saling menghargai dan mendorong.
Sikap
sempit yang berkutat dalam keinginan
menyamaratakan perbedaan itu akan cenderung membunuh kreasi, apalagi bagi pihak
yang dengan mudah memunculkan streotipe
(memberikan cap pada keburukan) misalnya dengan mengatakan suami sipemalas,
atau sipencemburu, akan cepat merusak keharmonisan, seperti ragi yang menyumirkan adonan roti. Kepercayaan
sangat penting dijaga.Kalau sempat terjadi
si suami atau si isteri melakukan penyelewengan misalnya, maka akan
sulit mengembangkan keluarga tersebut.
4.
Ada banyak
manfaat sama-sama beribadah, bernyanyi dan berdoa bersama di gereja atau di
rumah walau hanya berdua. Kesan itu akan menimbulkan aura kasih sayang yang
mampu meredam keinginan atau niat tidak baik. Kalau keadaan itu bisa
dipertahankan dalam waktu yang lama maka akan sangat efektif memblok
persoalan-persoalan tanpa menyinggung perpecahan atau perceraian. Antikanlah
senantiasa mengungkapkan kata bercerai dalam keluarga. Itu kata haram yang
tidak pantas diungkapkan.
0 komentar:
Posting Komentar