Kamis, 24 Januari 2013

Perkawinana itu kudus. Itulah pendapat kita terhadap peristiwa di mana seorang lelaki dan perempuan  pilihannya mengikat diri dengan sebuah status baru bernama perkawinan. Kedua individu berbeda itu kini tergantung satu dengan yang lain, suami terhadap isteri dan isteri terhadap suami.  Setelah menerima pemberkatan perkawinan dari gerejaNya, mereka yang dulunya tinggal berpisah, kemudian tinggal dalam satu rumah.
Waktu yang akan ditempuh suami isteri muda itu ke depan sangat panjang, Kalau misalnya Rosa dan Herry, melaksanakan pernikahan pada usia 25 tahun, sementara mereka memiliki umur 60 tahun saja, berarti mereka akan hidup bersama lebih kurang 35 tahun. Waktu itu bukanlah singkat, sebab begitu banyak kegiatan dan pergumulan ditengah setiap keluarga. Seorang ibu, tidak pernah terlepas dari mengandung setiap anak yang dia kasihi 8-9 bulan. Memelihara anak yang baru lahir tersebut dengan sangat hati hati hingga 5 tahun. Kemudian mengajari dan mengarahkannya mengenal mana yang benar mana yang salah, mana yang  baik mana yang buruk, sebab sesungguhnya pendidikan yang paling dasar justru pada keluarga. Sedikitnya seorang ibu bergelut untuk membesarkan anak-anaknya 15 tahun. Pada hal dia masih harus melayani suaminya, mengurus rumah tangga dan yang lain.
Demikian juga seorang suami yang baik. Dari padanya dituntut tanggungjawab yang sama seperti tanggungjawab isteri terhadap anak serta keluarga. Beban keuangan, keamanan keluarga, menentukan arah segala program demi kemajuan keluarga. Mengupayakan hari depan anak-anaknya, tentu tidak pernah terluput darinya.
Untuk seluruh yang kita perbincangkan di atas benar benar dibutuhkan pengertian yang matang. Untuk itulah dalam liturgi pemberkatan perkawinan dimintakan Agar Herry  benar benar mengasihi Rosa sebagai isterinya, sebagaimana Kristus telah mengasihi gereja bahkan memberikan hidupnya sebagai tebusan atas umatnya (Efesus 5:22) Herry juga sebagai suami harus mengasihi  Rosa isterinya isterinya itu sama seperti tubuhnya sendiri: sebab Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.  Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, 5:28-29.
Kepada Rosa pendeta meminta komitmen agar benar benar setia (tunduk)  kepada Herry sebagai Suaminya. Paulus berkata  Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,  karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah (Efesus 5:22-25).
Pada zaman persamaan hak, sekarang ini mungkin istilah “tunduk”  kepada suami tidak pas lagi, dan banyak orang menyoal ayat ini. Namun Paulus bukanlah seorang yang anti terhadap perbaikan kedudukan perempuan. Yang jelas mau dikatakan agar wanita benar-benar setia terhadap suaminya. Bukankah sering kita mendengar di awal perkawinan isterinya tunduk dan setia tetapi kemudian menanduk? Tunduk dan tanduk, dua kata yang sangat berlawanan walaupun  penulisannya hampir serupa?.
Pendeta senantiasa mengingatkan kedua pengantin tersebut agar suami misalnya, bersedia memperlakukan isterinya dengan perlakuan menghargai memuliakan isterinya dan tidak menceraikannya hingga kematian. Dan kepada isterinya dimintakan agar jangan meninggalkan suaminya.
Konon katanya tahun 540 an, saat raja Kores akan memulangkan orang Israel dari Babel ke negeri mereka di Jehuda, maka raja tersebut memanggil seorang raja muda beserta anak dan isterinya.
“Sekarang aku membebaskan engkau raja muda, berangkatlah pulang ke negeri nenek moyangmu agar engkau bisa kembali ke tengah kerajaanmu. Apakah yang akan kau berikan kepadaku sebagai ucapan terimakasihmu?” Kata raja Kores tersebut.
“Terimakasih baginda, atas kebaikan hati baginda memulangkan kami ke negeri leluhur kami yang telah lama kami rindukan. Kalau baginda mengembalikan kami, saya akan menyerahkan setengah dari harta yang kumiliki kepada Baginda” sahut raja muda tersebut.
“Kalau aku mengembalikan juga anak-anakmu ? apa yang akan kau berikan kepadamu”
“Oh baginda.. mulia benar hatimu bagi kami rakyat buangan ini, kalau ikut juga anak anakku engkau kembalikan ke negeri leluhur kami yang telah lama kami rindukan itu, saya akan berikan seluruh harta yang kumiliki baginda”
“Yang terakhir, kalau aku bermurah hati dan mengembalikan juga isterimu?”
“Oh.. yang mulia” raja muda itu meneteskan air mata dan menyembah raja tersebut “Kalau baginda juga turut mengembalikan isteri hamba, maka hidupkupun yang tuan minta akan saya berikan untuknya”.
Raja Kores benar benar mengembalikan  raja muda tersebut, permaisuri  dan anak-anaknya. Dengan perasaan sangat kagum dan senang , raja muda itupun bertanya kepada permaisurinya.
“Bagaimanakah pendapatmu adinda, tentang keindahan istana raja yang sangat megah itu”
“Oh... aku tidak melihat sesuatu apapun di istananya”
“Apa adinda tidak melihat, permadani yang begitu indah?
“Tidak”
“apakah adinda tidak melihat meja perjamuan raja yang dihiasi mangkuk emas dan anggur yang enak?
“Tidak baginda”
“Dinding istana dari batu pualam yang kemilau, perhiasan perhiasan emas perak di istana tersebut, pengawalnya dan seluruh yang ada di dalamnya?
“Tidak Baginda”
“Jadi apa yang kamu lihat?” kata raja tersebut begitu heran.
“Perhatianku tak sedikitpun kepada kemegahan istana itu baginda, selain kepada dirimu sendiri. Engkau begitu mencintai kami, anak-anak kita dan aku sendiri. Bagiku itu merupakan keindahan yang tak pernah ditemukan di antara kekayaan raja-raja”
Raja tersebut sangat terharu, dirangkulnya isteri dan anak anaknya yang dia kasihi lebih dari dirinya sendiri.
Apakah kita tidak patut meneladani raja muda tersebut? Bukankah dia bisa saja meninggalkan anak isterinya begitu saja? Melepaskan tanggung jawab agar dia bisa kawin lagi? Tetapi dia tidak pernah melakukan itu. Sekalipun  dia mempuyai banyak keunggulan, kuasa namun dia tidak mempergunakannya untuk merongrong keluarganya. Dia mengasihi darah dagingnya dan isteri yang  sekian lama bersamanya membangun keluarga dalam suka dan duka.
Memang keluarga  menghadapi suka duka dalam perkawinannya. Tidak ada keluarga yang sepanjang perjalannya tidak mengalami kendala kendala. Bak kerikil tajam yang menusuk telapak kaki, bak angin besar yang meredupkan motivasi nahkoda, atau bak mendung gelap yang menutupi sinar matahari, tetapi tantangan tantangan itulah yang membuat mereka lebih matang iabarat anak yang baru belajar berdiri terkadang berdiri dan kemudian terjatuh, tetapi pada ahirnya otot-otot kakinya semakin kuat dan mampu menopang tubuhnya.  Walupun sebuah keluarga pemula tidak mengalami kendala dalam kewangan, mereka akan mengalaminya dari sisi yang lain.
Biasanya pasangan muda itu akan berhadapan dengan kesulitan kesulitan, terbukanya sifat-sifat keduanya, yang selama ini mungkin bisa disembunyikan, membangun komunikasi yang bisa diterima keduanya bahkan fihak-fihak keluarga. Pola berberbeda dalam gaya hidup kedua pasangan suatu ketika bisa menjadi akar persoalan, disamping faktor lain seperti ekonomi krisis sosial dan sebagainya.
Dalam catatan  Alan Russel  dalam Guinness Book of World Records tahun l987 tercatat jumlah pasangan cerai tertinggi dari pasangan perkawinan terjadi di Amerika tahun  1981 dengan jumlah 1.213.000 atau sekitar 49.75 % dari jumlah perkawinan yang terjadi pada tahun itu. Kemudian tahun 1984 dengan jumlah pasangan cerai 1.155.000 dengan perkiraan 46.49 % dari jumlah keseluruhan perkawinan pada masa itu. Kurang dapat dipastikan penyebab utama perceraian-perceraian tersebut, tetapi orang-orang Amerika yakin bahwa penyebab utamanya adalah perobahan cara pandang masyarakat Amerika terhadap kebahagian hidup, yang didukung oleh perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini peran gereja semakin kecil semantara persoalan ketegangan hubungan di kelaurga diambil over pemerintah melalui peraturan-peraturannya.
Berbicara masalah cara pandang yang berubah itu, artinya yang menjadi fokus utama menentukan keutuhan keluarga bukan lagi berhubungan dengan ikatan-ikatan dogmatis gerejani, tetapi kesesuaian dan keserasian menurut ukuran masing masing. Tentu hal sedemikian didorong oleh menguatnya gaung hak azasi manusia di mana-mana. Tetapi apakah hal itu bisa dibenarkan? Saya rasa tidak. Adanya pemahaman bahwa Allahlah yang melantik dan mengukuhkan perkawinan tersebut telah menjadi dasar yang sangat kuat dalam kurun waktu ribuan tahun, dengan jumlah percerian yang lebih kecil. Memang sakit mengingat pengalaman pahit yang bisa terjadi di tengah keluarga setelah bersama bertahun-tahun, tetapi juga masih banyak yang perlu dipertimbangkan sehingga perkawinan yang menderita itu dipertahankan. Setidaknya itu menjadi pelajaran bagi anak-anak. Jika peran gereja semakin kecil, itu berarti fungsi Gereja untuk memberitakan kabar sukacita dari Allah kepada keluarga mengalami penurunan. Benteng terakhir bagi keutuhan gereja, sesungguhnya adalah Gereja. 
Beberapa catatan di bawah ini mungkin penting bagi pasangan suami istri:
1.            Suami istri seharusnya membatasi diri untuk tidak berlebihan memiliki dan menguasai suami atau isterinya, termasuk kepada harta kuasa atau jabatan. Sekali terjadi penguasaan seperti itu maka mulailah terjadi perbenturan. Istri merasa bahwa ruang geraknya terbatas, bahkan merasa perkawinannya menjadi penjara  menyedihkan. Perkawinan akan menjadi jerat-jerat yang menjatuhkan dan membunuh. Termasuk juga penguasaan yang terlalu untuk meraih harta kuasa dan jabatan, pada ahirnya akan mencelakai diri sendiri. Memang perlu harta dan kuasa bahkan itu bisa mendrive kita untuk maju lebih baik lagi. Namun harus sesuai degan kemampuan kita. Hidup ini  sama seperti babak-babak pada tampilan drama. Persoalan-persoalan akan datang silih berganti, namun persoalan itu akan lebih mudah dihadapi dengan jujur terhadap diri sendiri. Salah satunya menyadari bahwa rasa memiliki itu harus kita kurangi, sebab toh pada ahirnya hidup ini akan diahiri dengan perpisahan karena kematian
2.             Suami isteri harus memiliki kesiapan yang tangguh menghadapi terpaan  persoalan . Semakin lama semakinterasa bahwa beban hidup juga mengalami kualitas dan kuantitas yang semakin bertambah. Kehidupan sekarang lebih berat darri masa puluhan tahun silam.  Godaan-godaan yang datang  tak ayal bisa  menghempaskan  rumah tangga kapan saja. Salah satu  contoh, bahwa bagi suami isteri yang sama sama bekerja di tempat yang berlainan, maka si suami akan mempunyai kesempatan bertemu dengan wanita idaman lain. Dan si isteri juga mempunyai banyak kesempatan  bertemu dengan pria idaman lain. Tidak ada jaminan bahwa setelah mendapat pemberkatan perkawinan, maka tak mungkin jatuh cinta lagi kepada orang lain.
3.            Dalam menjaga keharmonisan keluarga perlu sekali menyadari adanya perbedaan-perbedaan diantara keduanya. Kalau mereka telah mampu menyadari perbedaan perbedaan tersebut mereka telah mampu membangun suatu komunikasi yang jujur, saling menghargai dan mendorong.
Sikap sempit  yang berkutat dalam keinginan menyamaratakan perbedaan itu akan cenderung membunuh kreasi, apalagi bagi pihak yang dengan mudah memunculkan streotipe  (memberikan cap pada keburukan) misalnya dengan mengatakan suami sipemalas, atau sipencemburu,  akan cepat  merusak keharmonisan, seperti ragi  yang menyumirkan adonan roti. Kepercayaan sangat penting dijaga.Kalau sempat terjadi  si suami atau si isteri melakukan penyelewengan misalnya, maka akan sulit mengembangkan  keluarga tersebut.
4.            Ada banyak manfaat sama-sama beribadah, bernyanyi dan berdoa bersama di gereja atau di rumah walau hanya berdua. Kesan itu akan menimbulkan aura kasih sayang yang mampu meredam keinginan atau niat tidak baik. Kalau keadaan itu bisa dipertahankan dalam waktu yang lama maka akan sangat efektif memblok persoalan-persoalan tanpa menyinggung perpecahan atau perceraian. Antikanlah senantiasa mengungkapkan kata bercerai dalam keluarga. Itu kata haram yang tidak pantas diungkapkan.


0 komentar:

Posting Komentar