Dalam renungan Manna
Sorgawi edisi Desember 2006 untuk memperingati hari ibu yang jatuh pada tangga
22 Desember, dihidangkan cerita yang sangat mempesona tentang Malaikat pilihan
Tuhan ceritanya seperti ini: Dari dalam rahim ibunya menjelang kelahirannya seorang bayi
berbincang-bincang dengan Tuhan “Tuhan, benarkah bahwa besok engkau akan
mengirimkan aku ke dunia? Tetapi bagaimana aku dapat hidup di dalam dunia karena aku sangat kecil dan tak berdaya.”
“Dari sekian banyak malaikatKu, Aku
telah memilih seseorang untuk menjadi malaikatmu. Saat ini dia sedang menunggu
kehadiranmu dan siap mejagamu” jawab Tuhan. “Tetapi disini aku sudah merasa
sangat nyaman, aku tidak melakukan apapun selain bernyanyi dan tersenyum.
Itulah kebahagiaanku”. Sambil tersenyum Tuhan memastikan kepadanya,
“Setiap hari malaikat itu akan menyanyi
untukmu. Kau akan merasakan bahwa ia sangat mengasihi dan kau akan sangat
bahagia”. Sesaat ia terdiam,
kemudian berkata lagi, “Lalu, bagaimana
aku dapat mengerti jika seseorang berbicara
kepadaku? Aku kan tidak mengerti bahasa mereka?” “Itu
sangat mudah, malaikatmu akan mengatakan kata-kata termanis yang pernah kau
dengar. Kemudian dengan sabar ia akan mengajarimu berbicara.” Bayi itu
kembali memandang Tuhan dan berkata “ Lalu apa yang harus kulakukan ketika aku
ingin brbicara denganMu?” Tuhan tersenyum dan berkata, “Malaikatmu akan mengajarimu berdoa.” “Hmm… katanya di sana banyak orang jahat,
lalu siapa yang akan melindungiku dari para penjahat itu, Tuhan?” Tuhan memegang tangannya yang mungil itu
sambil berkata “malaikatmu akan membelamu, meskipun itu akan membahayakan
jiwanya!” Bayi itu terlihat sedih dan berkata “Tapi aku pasti akan sangat sedih
karena tidak akan bertemu denganMu lagi Tuhan” Tuhan memeluknya dan berkata
“Malaikatmu akan berbicara kepadamu tentang Aku dan akan mengajarimu bagaimana
menghampiri Aku, meskipun sebenarnya aku
selalu ada bersamamu”. Beberapa saat kemudian suasana terasa senyap dan mulai
terdengar suara-suara di bumi. Menyadari hal itu si bayi berkata, “ Tuhan, jika
waktuku sudah tiba, tolonglah katakana siapakah nama malaikat itu!” “
sebenarnya namanya tidak begitu penting… kau akan mengenal dan memanggil dia
dengan sebutan Mama…” Jawab Tuhan.
Tidak ada satu katapun yang
bisa menyimpulkan kebesaran peran ibu dalam kehidupan manusia. lihatlah, apakah
mungkin ada kehidupan tanpa kehadiran seorang ibu? Bukankah dia yang melahirkan
kita setelah mengandungnya sembilan bulan? Bukankah dengan tangannya kita
disuapi makanan dipakaikan pakaian bahkan mengeja kata agar kita bisa bicara
dan mengajari tentang dunia yang luas ini? Bukankah dia yang memegang tangan
kita dan mengajari kita berjalan sehingga kita bisa melanglang buana mengejar
impian kita? Memang sangat tepat, ibu adalah sosok malaikat kiriman Tuhan bagi
setiap insan.
Banyak orang yang
mengatakan dedikasi dan pengorbanannyalah modal awal hidup kita. Maka ketika
Malin Kundang memerankan hidup mengingkari ibundanya, hati siapa yang tidak
tersentak, bahwa masih ada manusia yang tidak berterimakasih kepada ibu yang telah mempersembahkan
hidupnya untuk melahirkan dan membesarkan dirinya.
Seorang ibu memang harus
menyadari dirinya sebagai sumber kekuatan, keteladanan bahkan inspirasi bagi
anak-anak dan suaminya walaupun itu sangat berat. Oleh karena itu, tidak salah
lagi kalau seorang ibu membutuhkan dukungan sumber lain untuk memperkaya
pengetahuannya dan ketabahannya. Amsal 31:10-31 bisa menjadi sumber inspirasi
bagi seorang itu yang bijaksana.
“ Isteri yang
cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata.
Hati suaminya
percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan.
Ia berbuat
baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya.
Ia mencari
bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya.
Ia serupa
kapal-kapal saudagar, dari jauh ia mendatangkan makanannya.
Ia bangun kalau masih malam, lalu
menyediakan makanan untuk seisi rumahnya, dan membagi-bagikan tugas kepada
pelayan-pelayannya perempuan.
Ia membeli
sebuah ladang yang diingininya, dan dari hasil tangannya kebun anggur
ditanaminya.
Ia mengikat
pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya.
Ia tahu bahwa
pendapatannya menguntungkan, pada malam hari pelitanya tidak padam.
Tangannya
ditaruhnya pada jentera, jari-jarinya memegang pemintal.
Ia memberikan
tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin.
Ia tidak takut kepada salju untuk seisi rumahnya,
karena seluruh isi rumahnya berpakaian rangkap.
Ia membuat
bagi dirinya permadani, lenan halus dan kain ungu pakaiannya.
Suaminya
dikenal di pintu gerbang, kalau ia duduk bersama-sama para tua-tua negeri.
Ia membuat pakaian dari lenan, dan
menjualnya, ia menyerahkan ikat pinggang kepada pedagang.
Pakaiannya
adalah kekuatan dan kemuliaan, ia tertawa tentang hari depan.
Ia membuka
mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya.
Ia mengawasi
segala perbuatan rumah tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya.
Anak-anaknya
bangun, dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia:
Banyak wanita
telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua.
Kemolekan adalah bohong dan kecantikan
adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji.
Berilah kepadanya
bagian dari hasil tangannya, biarlah perbuatannya memuji dia di pintu-pintu
gerbang”
Puisi di
atas menggambarkan keluhuran pribadi seorang ibu bagi suami, anak-anakdan seisi
rumahnya. Dari dirinya yang lembut, keluarlah perencanaan dan masa depan.
Kata-kata serta ajarannya ibarat hujan
yang menyuburkan tanaman sehingga orang tertindas sekalipun mendapatkan jawaban
darinya. Melalui pelayanannya di tengah keluarga, suaminya akan dihormati
bahkan anak-anaknya melebihi anak-anak lain sebab kesehatannya terjaga dengan
baik, dan pengajarannya membesarkan anak-anaknya menggapai masa depan yang
cerah.
Adakah penderitaan seorang ibu? Ada. Tetapi justru
penderitaannya menjadi hikmat pengajaran
serta nasehat kepada anak-anaknya. Dalam bahasa Batak, istri mendapat gelar yang sangat simpati dan mendalam,
‘soripada”. Didalam diri seorang ibu, terdapat penderitaan dan hikmat. Kata ‘soripada’ datang dari 2 kata yakni sori yang berarti ‘derita’ dan kata
“poda’ yang berarti hikmat pengajaran. Seorang ibu harus mengalami kesakitan
saat mengandung anaknya sembilan bulan, dan mempertaruhkan nyawanya untuk
melahirkannya. Tetapi itupun belum cukup. Dia harus membesarkannya, dan
mengajarinya tentang jalan kehidupan. Tetapi semua penderitaan itu, tidak akan
pernah dilupakan anak suaminya sebab melalui penderitaan itulah kebahagiaan
didapatkan. Jadi penderitaan istri menjadi bekal kehidupan ditengah keluarga.
Tetapi pengajaran yang dituliskan
Lemuel dalam Amsal baik ajaran yang diturun alihkan para orang tua kita jaman
dahulu terkadang semakin samar di saat ini. Hal itu karena banyaknya perilaku
ibu-ibu yang mengingkari keluhuran jati
dirinya tadi. Perhatikanlah disekitar anda, bias saja kita temukan:
1. Ibu-ibu yang
menjadi bahan gunjingan di lingkungan sekitar karena sikapnya yang senang
berkelahi dengan orang lain. Seolah-olah dihatinya ada magma gunung api yang
siap dimuntahkan kalau ada orang yang memancingnya. Mereka juga senang
menggosip, mengungkit kesalahan orang lain, seolah-olah mereka tidak memiliki
kesalahan. Padahal mereka tak tahu bahwa hal yang sama juga dilakukan teman
yang digosipkan itu. Tidak sabar dalam menghadapi cobaan.
2. Banyak diantara
mereka senang merokok, seperti cerobong asap pabrik, melebihi perokok pria.
Dengan berbagai alasan mereka akan mengisap rokok, padahal diapun masih
menyusui anaknya. Apakah racun rokok itu tidak akan mengotori anaknya? Suatu
kebiasaan yang tidak baik.
3. Memang mereka
adalah pekerja yang sangat antusias. Menurut perhitungan ILO, tenaga kerja di
seluruh sector, terutama di bidang pengolahan pertanian total tenaga perempuan
mencapai 60%. Ini tidak membanggakan, sebab pria banyak menutup mata terhadap
beratnya pekerjaan istrinya. Sepatutnya kaum prialah yang memiliki total tenaga
lebih besar. Tetapi ternyata kaum pria lebih banyak yang cenderung menyenangkan
diri sendiri tanpa perduli yang dirugikan adalah keluarganya sendiri. Yang
menjadi persoalan, banyak kaum perempuan yang tega tidak berjumpa dengan
anak-anaknya untuk jangka waktu yang lama demi mengejar karier. Banyak
anak-anak akhirnya kehilangan percaya diri karena tidak mendapatkan kasih
saying dari ibunya.
4. Banyak pula
diantara ibu-ibu yang tidak cermat berhitung, lebih tepatnya dirasuki jiwa
konsumerisme tinggi. Kalau belanja mereka membawa keranjang besar untuk
menampung hasil lbelanjaannya, walaupun terkadang barang-barang itu tidak
begitu penting. Walau mereka tahu bahwa pendapatan keluarga perbulan hanya
sebatas ini, tetapi mereka tidak tahan melihat barang-barang yang dimiliki
tetangga, maka jadilah mereka pelanggan kunjungan kreditor. Hidup boros sedemikian membuat rapuh
pertahanan ekonomi keluarga di kemudian hari.
Tentu
masih banyak sikap tidak perlu lainnya melekat di banyak kaum ibu. Sebagai
pembentuk kehidupan bagi anak-anak mereka setiap hari harus mengoreksi dirinya,
agar citra ibu sebagaimana diungkapkan guru Amsal tadi terpelihara. Walaupun
mereka terkadang lupa, cepatlah bergegas untuk membenahi dan kembali ke situasi
yang benar dan lurus, sebab keteladanan anda akan membentuk hidup anak-anak
anda dengan sendirinya.
0 komentar:
Posting Komentar