Selasa, 01 Januari 2013




                                                                                                                       HOMO IMAGODEI

Untuk apa kita ada di dunia ini? Dan mau ke manakah arah perjalanan hidup kita? Pertanyataan itu sangat penting bagi setiap orang karena dengan merenungkan kedua pertanyaan tadi  sebenarnya kita sedang menganalisa citra kemanusiaan kita. Lebih dari sana, kita juga sedang memposisikan diri  kembali, dan menentukan bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan ini.  Dengan mempertanyakan untuk apa kita di dunia ini, dan kemana arah perjalanan kita sebenarnya kita semakin mengaktualisasi diri sehingga semakin efektif dan sadar betapa kita memiliki harga. Harga itu begitu berguna bagi orang-orang yang kita cintai, seperti sanak saudara, anak-anak, suami atau istri, tetangga termasuk juga bintang peliharaan kita yang menunggu kepulangan kita disore hari.  Sama halnya setiap benda yang bisa kita lihat dengan mata, termasuk yang tidak bisa kita lihat mempunyai kegunaan. Gulingkanlah  batu yang mengganggu jalan kita, lihatlah ternyata ada makhluk-makhluk kecil membangun sarangnya dibalik itu. Cangkullah satu jengkal tanah, lihatlah boleh jadi satu koloni semut membangun kerajaannya di tanah tersebut. Gunung yang tinggi menjadi sarang banyak bintang hutan, lautan yang dalam dihuni ribuan jenis ikan. Di balik setangkai dahan, ada labah-labah yang membangun sarangnya di sana. Sekecil debu seklipun  benda hingga sebesar-besarnya planet Semuanya berguna, walau terkadang otak kita yang sangat kecil ini tidak mampu mengetahui kegunaan dari semua itu. Tetapi jelas, Tuhan menjadikan semuanya itu dalam rencanaNya yang ajaib. Oleh karena itulah Calvin pernah mengatakan bahwa alam semesta ini adalah the  theatron of gloriae dei, apalagi diri kita.
Yang menjadi soal, terkadang kita lupa  bahwa ada yang lain yang membutuhkan cinta, pemberian, bantuan bahkan penghiburan dan hal lain yang kita miliki. Kalau  kita semakin  terlelap dan tidak membangunkan kesadaran itu, maka  kita bisa keliru dan tidak memiliki arah mau ke mana hidup kita tuju. Orang yang tidak mengerti arti hidupnya,  tidak bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang pada hari ke depan akan menguntungkan dirinya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa tindakan yang sebaliknya merugikanlah tindak lakunya. Alangkah terkejutnya kalau tiba-tiba orang yang kita kenal baik sehari-hari ternyata telah jatuh kedalam cengkraman kuasa narkoba, perjudian atau tindakan kekerasan. Bisa saja kita menjadi kecewa kalau orang yang kita cintai, tokoh, bahkan selebrity yang  kita idolakan, kini harus mendekam di hotel prodeo, penjara karena tertangkap sebagai pengguna obat-obatan terlarang misalnya.
Di awal tahun 2006 banyak orang yang terperangah sedih dan kecewa ketika polisi menggiring Roy Marten seorang sosok selebriti yang tahun 70 an menjadi idola banyak kawula muda, ke tahanan. Beliau yang selama ini dikenal ramah, bersih, bisa menjadi idola ternyata terperosok ke sisi gelap, memakai obat-obatan terlarang. Waktu ditangkap,disorot kamera aparat keamanan menjelaskan bagaimana si idola itu harus terganjar hukuman akibat perbuatannya yang diluar perkiraan banyak orang. Kenyataan itu juga mengungkapkan bahwa sebaik, sepolos manusia ternyata dia tidak luput dari bayangan hitam kejahatan dan kekeliruan.
Hidup bermakna adalah upaya yang seharusnya kita pergumulkan berulang-ulang, yang akhirnya menjadi proses pembaharuan setiap saat. Hanya dalam kondisi sadar seperti itulah kita mampu menyelami arti hidup dan menghargai hidup kita sendiri. Diri pribadi kita adalah karunia suci Tuhan, sang pemberi hidup itu. Itulah inti kemanusiaan kita, yakni diri pribadi yang dikaruniakan sang pencipta. Allah membuat pribadi kita bukan tanpa tujuan, sebab Dia menginginkan agar manusia menjadi makhluk kreatif, dinamis, penuh kasih dan mampu menghargai.
Allah menciptakan manusia segambar dan serupa dengan Dia (Kej 1:26-27). Kenyataan itu sangat mulia, bahwa Tuhan memahatkan wajahnya  hingga kita sebenarnya beroleh wajah Allah dalam diri kita. Dalam bahasa Ibrani kata tselem dan  demuth  yang dipakai untuk kata segambar dan serupa, mau menjelaskan bahwa wajah Allah adalah wajah yang ditirukan untuk kita. Para penafsir hampir seluruhnya bermufakat bahwa tujuan kesegambaran tersebut adalah titik tolak pengangkatan manusia menjadi duta Allah atau gubernur Allah di muka bumi. Allah menginginkan proses kehidupan di muka bumi ini berjalan dengan baik, dan itu bisa terjadi dengan partisipasi besar manusia.
Kesegambaran dengan Allah yang diperbuat Allah sudah barang tentu mempunyai impian mulia di dalam diri Allah, cita-cita yang sesungguhnya tidak dilupakan manusia itu sendiri. Manusia sepatutnya meniru sifat Allah dalam bentuk  kebaikan, kemurahan, keadilan kebijaksanaan. Kita meneruskan cita-cita Allah di bumi merawat dan menjaga keutuhan bumi sehingga bumi tetap menunjukkan rumah bagi seluruh manusia termasuk seluruh makhluk yag telah ada sejak mulanya. Oleh karena itulah maka  Sola Gratia S Lumy mengatakan  manusia adalah homo imagodei, citra Allah ada dalam dirinya.
Citra yang bagaimana ? Lumy sendiri menjawabnya dengan tindakan penyelamatan bagi ribuan kaum papa di Metropolitan Jakarta yang hanya mampu meraih rezeki dari tong sampah dan belas kasih orang lain. Mencarikan solusi bagi anak-anak terlantar tanpa harapan. Memberikan motivasi agar penuh keyakinan meraih jengkal demi jengkal cita-cita  yang sempat hilang bagi mereka yang putus asa setelah didera kejamnya ibukota.  Tidak sendiri, masih ada tokoh lain semisal Ibu Theresa yang dengan tangannya sendiri menyelamatkan orok yang dibuang dengan sengaja oleh ibundanya ke pinggir jalan karena factor kemiskinan yang mencolok di Kalkutta. Theresa mengatakan, di dalam wujud orang miskin itu dia layani Yesus (Bnd. Mat 25:31-46)
Masih ada tokoh lain. Lihat apa yang diperbuat almarhum Romo Mangunwijaya yang tak merasa risih dengan bau keringat orang yang ditolongnya di pinggiran Kali Code, di Grigak Gunung Kidul. Bahkan dengan mereka yang terhempas ringkih akibat kejamnya proyek Kedung Ombo. Dia memberikan penghiburan, menguatkan mereka dengan mengatakan bahwa Tuhan mengasihi dan membela hak-hak mereka juga. Semuanya dilakukan karena penghayatan Injil berita sukacita yang mengajak orang percaya untuk membebaskan.
Masih ada tokoh lain, Randy White yang mendirikan komunitas Without Walls di Tampa Florida. Dia dengan program-programnya menghilangkan perbedaan dan duduk bersama dengan multi warna kulit di persekutuan-persekutuan mereka. menyapa dan menggapai orang yang tersisish di tengah mengkilapnya ekonomi Amerika sehingga orang menamai kelompok tersebut dengan “the Vegetable-soup Church” yang walau berpuspawarna, seperti ras kulit Putih, Meksiko, Negro, Hispanik dan sejumlah ras lain di dunia tetapi justru menghiasi Altar Tuhan. Mereka memang tanpa diskriminasi, tanpa pembatas. Yang paling mengundang simpati adalah gerakan mereka  menyelamatkan dan memulihkan kehiduan ribuan anak terlantar, remaja nakal pecandu narkoba. Tanpa lelah tim relawan mereka mengunjungi dari rumah ke rumah membawakan makanan bagi sesama yang kekurangan dan boneka mungil untuk anak-anak. Ada lagi acara tahunan yang mereka sebutkan  Table in the wilderness. Pada hari Thanksgiving  mereka mempersiapkan makanan bagi  ribuan tunawisma  dan gelandangan yang kelaparan. Tentu kita masih ingat peristiwa padang gurun saat kaum Israel kelaparan dan tak memiliki bekal makanan dan minuman. Tuhanlah yang mempersiapkan meja perjamuan bagi mereka, melalaui pemberian manna, daging dan air minum. Peristiwa padang gurung itulah itulah yang mengisnpirasi mereka menyelenggarakan acara   Table in the wilderness tersebut, yang berarti perjamuan di padang gurun.
Boleh saja kita heran seperti para ekonom yang heran, apa untungnya mereka melakukan itu semua? Sebab tindakan seperti itu jauh diluar nalar logika kita yang senantiasa berpikir untung rugi. Tetapi sekali lagi tokoh- tokoh di atas menjelaskan hati yang tergugah, tindakan yang real, mengasihi sesama itulah sebagian dari tugas manusia yang diutus Allah ke tengah dunia. Kalau bukan orang percaya melakukannya, lalu siapa lagi?
Kembali kepada persoalan semula tentang diri kita. Kalau tokoh-tokoh yang kita deretkan tadi memenuhi pikiran dan tindakannya dengan penuh dedikasi untuk memberikan secercah harapan bagi sesama, apakah kita tidak bisa melakukan hal yang sama? Masalahnya kita sering lupa akan siapa diri kita dalam rencana Allah. Padahal Dia menginginkan kita menjadi garam dan terangNya sebagai wujud kesegambaran kita dengan Allah untuk memberi makna di bumi ini bagi sesama kita. Bukankah itu  penting? Bahkan sangat penting.

0 komentar:

Posting Komentar