HOMO IMAGODEI
Untuk apa kita ada di dunia ini? Dan mau ke manakah arah
perjalanan hidup kita? Pertanyataan itu sangat penting bagi setiap orang karena
dengan merenungkan kedua pertanyaan tadi
sebenarnya kita sedang menganalisa citra kemanusiaan kita. Lebih dari sana, kita juga sedang
memposisikan diri kembali, dan
menentukan bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan ini. Dengan mempertanyakan untuk apa kita di dunia
ini, dan kemana arah perjalanan kita sebenarnya kita semakin mengaktualisasi
diri sehingga semakin efektif dan sadar betapa kita memiliki harga. Harga itu
begitu berguna bagi orang-orang yang kita cintai, seperti sanak saudara,
anak-anak, suami atau istri, tetangga termasuk juga bintang peliharaan kita
yang menunggu kepulangan kita disore hari.
Sama halnya setiap benda yang bisa kita lihat dengan mata, termasuk yang
tidak bisa kita lihat mempunyai kegunaan. Gulingkanlah batu yang mengganggu jalan kita, lihatlah
ternyata ada makhluk-makhluk kecil membangun sarangnya dibalik itu. Cangkullah
satu jengkal tanah, lihatlah boleh jadi satu koloni semut membangun kerajaannya
di tanah tersebut. Gunung yang tinggi menjadi sarang banyak bintang hutan,
lautan yang dalam dihuni ribuan jenis ikan. Di balik setangkai dahan, ada
labah-labah yang membangun sarangnya di sana.
Sekecil debu seklipun benda hingga
sebesar-besarnya planet Semuanya berguna, walau terkadang otak kita yang sangat
kecil ini tidak mampu mengetahui kegunaan dari semua itu. Tetapi jelas, Tuhan
menjadikan semuanya itu dalam rencanaNya yang ajaib. Oleh karena itulah Calvin
pernah mengatakan bahwa alam semesta ini adalah the theatron of gloriae dei,
apalagi diri kita.
Yang menjadi soal, terkadang kita lupa bahwa ada yang lain yang membutuhkan cinta,
pemberian, bantuan bahkan penghiburan dan hal lain yang kita miliki. Kalau kita semakin
terlelap dan tidak membangunkan kesadaran itu, maka kita bisa keliru dan tidak memiliki arah mau
ke mana hidup kita tuju. Orang yang tidak mengerti arti hidupnya, tidak bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
pada hari ke depan akan menguntungkan dirinya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa
tindakan yang sebaliknya merugikanlah tindak lakunya. Alangkah terkejutnya
kalau tiba-tiba orang yang kita kenal baik sehari-hari ternyata telah jatuh
kedalam cengkraman kuasa narkoba, perjudian atau tindakan kekerasan. Bisa saja
kita menjadi kecewa kalau orang yang kita cintai, tokoh, bahkan selebrity
yang kita idolakan, kini harus mendekam
di hotel prodeo, penjara karena tertangkap sebagai pengguna obat-obatan
terlarang misalnya.
Di awal tahun 2006 banyak orang yang terperangah sedih dan
kecewa ketika polisi menggiring Roy Marten seorang sosok selebriti yang tahun
70 an menjadi idola banyak kawula muda, ke tahanan. Beliau yang selama ini
dikenal ramah, bersih, bisa menjadi idola ternyata terperosok ke sisi gelap,
memakai obat-obatan terlarang. Waktu ditangkap,disorot kamera aparat keamanan
menjelaskan bagaimana si idola itu harus terganjar hukuman akibat perbuatannya
yang diluar perkiraan banyak orang. Kenyataan itu juga mengungkapkan bahwa
sebaik, sepolos manusia ternyata dia tidak luput dari bayangan hitam kejahatan
dan kekeliruan.
Hidup bermakna adalah upaya yang seharusnya kita
pergumulkan berulang-ulang, yang akhirnya menjadi proses pembaharuan setiap
saat. Hanya dalam kondisi sadar seperti itulah kita mampu menyelami arti hidup
dan menghargai hidup kita sendiri. Diri pribadi kita adalah karunia suci Tuhan,
sang pemberi hidup itu. Itulah inti kemanusiaan kita, yakni diri pribadi yang
dikaruniakan sang pencipta. Allah membuat pribadi kita bukan tanpa tujuan,
sebab Dia menginginkan agar manusia menjadi makhluk kreatif, dinamis, penuh
kasih dan mampu menghargai.
Allah menciptakan manusia segambar dan serupa dengan Dia
(Kej 1:26-27). Kenyataan itu sangat mulia, bahwa Tuhan memahatkan wajahnya hingga kita sebenarnya beroleh wajah Allah
dalam diri kita. Dalam bahasa Ibrani kata tselem dan demuth
yang dipakai untuk kata segambar dan serupa, mau menjelaskan bahwa wajah
Allah adalah wajah yang ditirukan untuk kita. Para
penafsir hampir seluruhnya bermufakat bahwa tujuan kesegambaran tersebut adalah
titik tolak pengangkatan manusia menjadi duta Allah atau gubernur Allah di muka
bumi. Allah menginginkan proses kehidupan di muka bumi ini berjalan dengan
baik, dan itu bisa terjadi dengan partisipasi besar manusia.
Kesegambaran dengan Allah yang diperbuat
Allah sudah barang tentu mempunyai impian mulia di dalam diri Allah, cita-cita
yang sesungguhnya tidak dilupakan manusia itu sendiri. Manusia sepatutnya
meniru sifat Allah dalam bentuk
kebaikan, kemurahan, keadilan kebijaksanaan. Kita meneruskan cita-cita
Allah di bumi merawat dan menjaga keutuhan bumi sehingga bumi tetap menunjukkan
rumah bagi seluruh manusia termasuk seluruh makhluk yag telah ada sejak mulanya.
Oleh karena itulah maka Sola Gratia S
Lumy mengatakan manusia adalah homo imagodei, citra Allah ada dalam
dirinya.
Citra yang bagaimana ? Lumy sendiri menjawabnya dengan
tindakan penyelamatan bagi ribuan kaum papa di Metropolitan Jakarta yang hanya
mampu meraih rezeki dari tong sampah dan belas kasih orang lain. Mencarikan
solusi bagi anak-anak terlantar tanpa harapan. Memberikan motivasi agar penuh
keyakinan meraih jengkal demi jengkal cita-cita
yang sempat hilang bagi mereka yang putus asa setelah didera kejamnya
ibukota. Tidak sendiri, masih ada tokoh
lain semisal Ibu Theresa yang dengan tangannya sendiri menyelamatkan orok yang
dibuang dengan sengaja oleh ibundanya ke pinggir jalan karena factor kemiskinan
yang mencolok di Kalkutta. Theresa mengatakan, di dalam wujud orang miskin itu
dia layani Yesus (Bnd. Mat 25:31-46)
Masih ada tokoh lain. Lihat apa yang diperbuat almarhum
Romo Mangunwijaya yang tak merasa risih dengan bau keringat orang yang ditolongnya
di pinggiran Kali Code, di Grigak Gunung Kidul. Bahkan dengan mereka yang
terhempas ringkih akibat kejamnya proyek Kedung Ombo. Dia memberikan
penghiburan, menguatkan mereka dengan mengatakan bahwa Tuhan mengasihi dan
membela hak-hak mereka juga. Semuanya dilakukan karena penghayatan Injil berita
sukacita yang mengajak orang percaya untuk membebaskan.
Masih ada tokoh lain, Randy White yang mendirikan komunitas
Without Walls di Tampa Florida.
Dia dengan program-programnya menghilangkan perbedaan dan duduk bersama dengan
multi warna kulit di persekutuan-persekutuan mereka. menyapa dan menggapai
orang yang tersisish di tengah mengkilapnya ekonomi Amerika sehingga orang
menamai kelompok tersebut dengan “the Vegetable-soup Church”
yang walau berpuspawarna, seperti ras kulit Putih, Meksiko, Negro, Hispanik dan
sejumlah ras lain di dunia tetapi justru menghiasi Altar Tuhan. Mereka memang
tanpa diskriminasi, tanpa pembatas. Yang paling mengundang simpati adalah
gerakan mereka menyelamatkan dan
memulihkan kehiduan ribuan anak terlantar, remaja nakal pecandu narkoba. Tanpa
lelah tim relawan mereka mengunjungi dari rumah ke rumah membawakan makanan
bagi sesama yang kekurangan dan boneka mungil untuk anak-anak. Ada lagi acara tahunan
yang mereka sebutkan Table in the
wilderness. Pada hari Thanksgiving
mereka mempersiapkan makanan bagi
ribuan tunawisma dan gelandangan
yang kelaparan. Tentu kita masih ingat peristiwa padang
gurun saat kaum Israel
kelaparan dan tak memiliki bekal makanan dan minuman. Tuhanlah yang
mempersiapkan meja perjamuan bagi mereka, melalaui pemberian manna, daging dan
air minum. Peristiwa padang gurung itulah itulah
yang mengisnpirasi mereka menyelenggarakan acara Table in the wilderness tersebut,
yang berarti perjamuan di padang
gurun.
Boleh saja kita heran seperti para ekonom yang heran, apa
untungnya mereka melakukan itu semua? Sebab tindakan seperti itu jauh diluar
nalar logika kita yang senantiasa berpikir untung rugi. Tetapi sekali lagi
tokoh- tokoh di atas menjelaskan hati yang tergugah, tindakan yang real,
mengasihi sesama itulah sebagian dari tugas manusia yang diutus Allah ke tengah
dunia. Kalau bukan orang percaya melakukannya, lalu siapa lagi?
Kembali kepada persoalan semula tentang diri kita. Kalau
tokoh-tokoh yang kita deretkan tadi memenuhi pikiran dan tindakannya dengan
penuh dedikasi untuk memberikan secercah harapan bagi sesama, apakah kita tidak
bisa melakukan hal yang sama? Masalahnya kita sering lupa akan siapa diri kita
dalam rencana Allah. Padahal Dia menginginkan kita menjadi garam dan terangNya sebagai
wujud kesegambaran kita dengan Allah untuk memberi makna di bumi ini bagi
sesama kita. Bukankah itu penting?
Bahkan sangat penting.
0 komentar:
Posting Komentar