Waktu membaca buku kisah
nyata Dave Pelzer berjudul A Child Called ‘it’ istri saya sampai
menitikkan air mata. Bayangkan seorang anak kecil masih berumur 4 tahunan telah
mengalami nasib menyedihkan, berjuang untuk selamat dari tangan kejam yang
bukan siapa, tetapi ibu kandungnya sendiri. Berminggu tidak mendapat makanan,
di kurung di kamar mandi dan mencium gas mematikan, dipukul dan disesah dengan
rantai besi. Bahkan ibunya menganggapnya
tidak ada ‘nobady’memanggil dia ‘it’.
Sebutan untuk sesuatu tanpa menghargai nya sebagai manusia. Bertahun tahun
merindukan kasih sayang ibu bapanya, namun semakin kelamlah hari-hari hidupnya.
Sewaktu mengkomentari buku
itu, Glenn A. Goldberg, seorang direktur eksekutif lembaga yang bergerak dalam
penanganan Child Abuse ( anak-anak yang diperlakukan dengan kejam) mengatakan
jutaan anak-anak menerima penolakan orang tua. Kisah-kisah penganiayaan anak
oleh orang dewasa di tengah keluarga semakin hari merambat dengan cepat
melampaui angka wajar. Bagaimana keadaan
itu kalau dilihat dari sisi situasi tanah air kita? Dipastikan jumlah yang muncul di permukaan
seperti kisah penganiayaan ibu tiri kepada Arie Hanggara dan anak anak lain
yang senasib, hanya berupa fenomena gunung es. Sebenarnya angka yang bisa
ditelusuri lewat peristiwa nyata sebagaimaa diungkap di pemberitaan, hanya
sedikit sekali dibanding kenyataan yang sesungguhnya. Terakhir ini kisah
penganiayaan semakin banyak jumlahnya di Indonesia terbukti dengan
maraknya pemberitaan betapa sibuknya
Komnas Perlindungan Anak menangani kasus-kasus penyiksaan yang biasanya
menyangkut perlakuan kasar secara fisik, emosional dan seksual.
Seandainyapun mereka bisa
terlepas dari kondisi yang mengerikan itu, belum tentu mereka terbebas secara
utuh. Ternyata banyaknya kasus anak berandalan, gadis yang terjerumus ke lembah
hitam, hidup dengan seks menyimpang seperti lesbian, homoseks bahkan
pecandu-pecandu narkoba menurut penelusuran sebagian besar diantar mereka
adalah korban kekerasan di masa lalu dan masih menyimpan trauma walaupun kejadian
itu telah lama berlalu. Memang dampak kekerasan akan mempengaruhi jiwa korban
dan akan meninggalkan luka batin, traumatis, depresi, ketakutan yang
berkepanjangan, dendam yang memicu tindakan kriminal dll. Fakta mengejutkan
dalam jangka waktu tahun 1999 - 2000
dijumpai 138 kasus bunuh diri di Amerika
karena tidak tahan menerima perlakuan kekerasan di tengah keluarga. Di Jepang,
hasil penelitian mahasiswa psikologi
terhadap 100 orang pemakai Narkoba, lebih 60 % menyatakan faktor penyebabnya
berasal dari kekecewaan terhadap orang tua mereka yang berlaku kasar kepada
mereka.
Masih adakah kekerasan lain?
ada. Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Di bulan bulan awal
tahun 2008, di salah satu Media diberitakan kisah memilukan terhadap seorang ibu
rumah tangga yang masih belia. Hanya karena alasan cemburu, suaminya dengan
tega memukuli, membakar dan membunuh istrinya. Dengan kekejaman yang amat sadis
suami melakukan itu dihadapan anak-anaknya.
Kemanakah hati nurani sang suami yang berlaku kejam itu? Apakah dia
tidak pernah mengingat anak-anak yang masih membutuhkan cinta kasih ibu yang
melahirkanya itu? Kekerasan yang terjadi antara suami dan istri justru menjadi
faktor penyebab perceraian tertinggi di dunia, seperti di Amerika dan negara
maju lainnya yang persentasenya lebih dari 40 %.
Fakta-fakta di atas
hendaknya semakin menyadarkan kita betapa pentingnya menjaga damai di tengah
rumah tangga yang kita bangun. Dibutuhkan pengendalian diri suami istri pada
saat terjadi ketegangan, atau persoalan yang memancing pertengkaran hebat
Hubungan yang harus dipelihara dengan baik bukan hanya menyangkut antara suami
dan istri, tetapi juga hubungan dengan anak-anak yang kita kasihi.
Harus ada komitmen yang
terpelihara terus yang pada intinya mengutamakan keterbukaan komunikasi untuk
menyelesaikan segala perkara, dan masing masing pihak hendaknya bisa saling
memahami kondisi keluarga secara utuh, baik kondisi keuangan, kesehatan,
termasuk relasi-relasi dengan pihak luar. Dengan memahami kondisi-kondisi itu akan
mengurangi kekerasan.
Memang banyak alasan orang
melakukan tindakan keras yang ternyata menjadi kekerasan, yang diberlakukan
suami misalnya terhadap anak-anaknya. Salah satu dari alasan itu misalnya untuk
membiasakan anak-anak hidup berdisplin. Bahkan ada suami yang beralasan
menghajar istrinya agar mengetahui sulitnya ekonomi sekarang ini, dan agar
melatihnya hidup hemat. Tetapi apapun alasannya, kekerasan bukanlah jalan
terbaik.
Perhatikanlah wajah
anak-anak anda, mereka sangat polos dan sangat tergantung kepada anda sebagai
orang tuanya. Lihatlah bahwa masa depannya sangat tergantung kepada bagaimana
anda memberikan pengajaran melalui tindakan anda. Kalau anda berlaku kasar
kepada istri anda di depan anak-anak anda, maka mereka juga akan belajar dari anda
dan suatu saat mempraktekkannya bagi keluarganya. Seorang anak perempuan yang
melihat ibunya tidak menghargai dan berlaku kasar terhadap ayahnya, jangan
heran kalau kelak dia juga akan melakukannya terhadap suaminya.
Beberapa tahun belakangan
ini ditemukan suatu gejala meningkatnya bayi yang terbunuh di tangan ibu
kandung yang melahirkannya. Lama tidak terungkap adanya hubungan kekejian
tersebut dengan kondisi kejiwaan yang dialami si ibu. Dini Tjokro seorang ahli psikologi dari Universitas Indonesia dalam
waktu wawancara televisi memberikan pendapat-pendapat yang mencengangkan. Pada
prinsipnya, tidak ada seorang ibupun yang tidak mengasihi anak yang dia
lahirkan. Kalau terjadi suatu pembunuhan yang dilakukan terhadap anaknya maka
yang menjadi objek perhatian untuk mencari benang kusut itu bukanlah pembunuhan
itu tetapi apa yang telah mengepung jiwa si ibu sehingga melakukannya.
Kemungkinan besar himpitan ekonomi membuat siibu tidak normal. Tetapi yang
lebih banyak adalah adanya disharmoni antara dirinya dengan suaminya. Ibu yang
baru melahirkan cenderung mengalami depressi, kekuatiran tentang masa depan
anak-anak. Peran suami yang mendukung dan memberikan perlindungan bagi siibu
bahwa dia tidak akan membiarkan sendirian menjaga dan membesrkan anak-anak akan
menjadikan situasinya tenang dan kemudian normal kembali. Namun pada
kenyataannya banyak suami yang tidak perduli terhadap penderitaan istrinya dan
membiarkannya menjalani kehidupan sendiri, bahkan menuntut istrinya bekerja
seolah-olah tidak dalam keadaan lemah. Inilah faktor pemicu kekejaman tersebut.
Untuk menghindari
kekerasan-kekerasan dalam rumah tangga, anda perlu memikirkan beberapa hal:
1.
Hadapilah setiap orang dalam rumah tangga dengan lemah
lembut. Lemah lembut bukan berarti tidak tegas. Kelemah lembutan lebih mengacu
kepada cara kita menyadarkan mereka tanpa membuat kontra atas perbuatan mereka
yang mungkin mengundang kita melakukan kekerasan. Paulus mengatakan kepada
Timotius agar sabar, penuh kelemah lembutan mengajar serta menuntun. Dengan cara
itu, lebih besar kemungkinan mereka bertobat
dan melihat kebenaran. Hanya dengan kelemah lembutanlah kita bisa
membebaskan mereka dari jerat iblis ( 2 Tim 2: 24-26).
2.
Berlaku tidak adil dan kasar terhadap anak anak ternyata akan
menimbulkan persoalan baru di masa yang akan datang. Bisa saja mereka yang dulu
kita perlakukan dengan kasar, suatu saat kita akan menuai akibatnya. Bukankah
ada tertulis siapa yang menabur angin akan menuai puting beliung? (Hos 8:7),
itu bisa terjadi kalau kelak anak-anak kita menjadi penjahat, pembunuh, pecandu
narkoba. Tentu umur kita akan semakin pendek kalau berhadapan dengan keadaan
anak-anak kita yang terlibat dalam keadaan seperti itu.
3.
Upayakan senantiasa memahami seluruh anggota keluarga, dan
jangan bertindak kasar kalau seorang diantaranya menurut anda berprilaku kasar.
Lihatlah dan selamilah terlebih dahulu situasi yang mereka sedang alami, sebab
bisa saja tindakan mereka merupakan konpensasi dari situasi tersebut yang
terbawa hingga ke rumah. Disini justru kasih andalah yang paling dibutuhkan,
membantunya menyelesaikan persoalannya bukan membalasnya dengan kekerasan pula.
Kalau kekerasan menjadi alternatif tindakan anda maka tidak bisa lagi
terbayangkan puncak persoalan itu.
4.
Kalau memang dibutuhkan penanganan yang khusus, hubungilah
pendeta anda agar pendeta mengadakan konseling. Bila itu juga dianggap masih
belum cukup, jangan ragu, hubungilah orang yang bisa memberi jasa pelayanan
menangani anak-anak kita yang kita
anggap bermasalah. Hubungilah misalnya psikolog. Mereka telah belajar banyak
mengenai perkembangan jiwa dan mengani permasalahan-permasalahan yang terjadi.
5.
Jangan lupa berdoalah senantiasa bagi kebaikan anak anak itu.
Doa sangat efektif merobah prilaku yang kurang baik. Sesekali ucapkan nama-nama
mereka di dalam doa anda, harapan-harapan yang anda idamkan di masa depan
mereka. Itu akan tertanam dalam dan memotivasi hidup lebih baik lagi.
0 komentar:
Posting Komentar