Sabtu, 09 Februari 2013




Waktu membaca buku kisah nyata Dave Pelzer berjudul A Child Called ‘it’ istri saya sampai menitikkan air mata. Bayangkan seorang anak kecil masih berumur 4 tahunan telah mengalami nasib menyedihkan, berjuang untuk selamat dari tangan kejam yang bukan siapa, tetapi ibu kandungnya sendiri. Berminggu tidak mendapat makanan, di kurung di kamar mandi dan mencium gas mematikan, dipukul dan disesah dengan rantai besi. Bahkan ibunya  menganggapnya tidak ada ‘nobady’memanggil dia  ‘it’. Sebutan untuk sesuatu tanpa menghargai nya sebagai manusia. Bertahun tahun merindukan kasih sayang ibu bapanya, namun semakin kelamlah hari-hari hidupnya.
Sewaktu mengkomentari buku itu, Glenn A. Goldberg, seorang direktur eksekutif lembaga yang bergerak dalam penanganan Child Abuse ( anak-anak yang diperlakukan dengan kejam) mengatakan jutaan anak-anak menerima penolakan orang tua. Kisah-kisah penganiayaan anak oleh orang dewasa di tengah keluarga semakin hari merambat dengan cepat melampaui angka wajar.  Bagaimana keadaan itu kalau dilihat dari sisi situasi tanah air kita?  Dipastikan jumlah yang muncul di permukaan seperti kisah penganiayaan ibu tiri kepada Arie Hanggara dan anak anak lain yang senasib, hanya berupa fenomena gunung es. Sebenarnya angka yang bisa ditelusuri lewat peristiwa nyata sebagaimaa diungkap di pemberitaan, hanya sedikit sekali dibanding kenyataan yang sesungguhnya. Terakhir ini kisah penganiayaan semakin banyak jumlahnya di Indonesia terbukti dengan maraknya  pemberitaan betapa sibuknya Komnas Perlindungan Anak menangani kasus-kasus penyiksaan yang biasanya menyangkut perlakuan kasar secara fisik, emosional dan seksual.
Seandainyapun mereka bisa terlepas dari kondisi yang mengerikan itu, belum tentu mereka terbebas secara utuh. Ternyata banyaknya kasus anak berandalan, gadis yang terjerumus ke lembah hitam, hidup dengan seks menyimpang seperti lesbian, homoseks bahkan pecandu-pecandu narkoba menurut penelusuran sebagian besar diantar mereka adalah korban kekerasan di masa lalu dan masih menyimpan trauma walaupun kejadian itu telah lama berlalu. Memang dampak kekerasan akan mempengaruhi jiwa korban dan akan meninggalkan luka batin, traumatis, depresi, ketakutan yang berkepanjangan, dendam yang memicu tindakan kriminal dll. Fakta mengejutkan dalam jangka waktu tahun 1999 -  2000 dijumpai  138 kasus bunuh diri di Amerika karena tidak tahan menerima perlakuan kekerasan di tengah keluarga. Di Jepang, hasil penelitian mahasiswa  psikologi terhadap 100 orang pemakai Narkoba, lebih 60 % menyatakan faktor penyebabnya berasal dari kekecewaan terhadap orang tua mereka yang berlaku kasar kepada mereka.
Masih adakah kekerasan lain? ada. Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Di bulan bulan awal tahun 2008, di salah satu Media diberitakan kisah memilukan terhadap seorang ibu rumah tangga yang masih belia. Hanya karena alasan cemburu, suaminya dengan tega memukuli, membakar dan membunuh istrinya. Dengan kekejaman yang amat sadis suami melakukan itu dihadapan anak-anaknya.  Kemanakah hati nurani sang suami yang berlaku kejam itu? Apakah dia tidak pernah mengingat anak-anak yang masih membutuhkan cinta kasih ibu yang melahirkanya itu? Kekerasan yang terjadi antara suami dan istri justru menjadi faktor penyebab perceraian tertinggi di dunia, seperti di Amerika dan negara maju lainnya yang persentasenya lebih dari 40 %.
Fakta-fakta di atas hendaknya semakin menyadarkan kita betapa pentingnya menjaga damai di tengah rumah tangga yang kita bangun. Dibutuhkan pengendalian diri suami istri pada saat terjadi ketegangan, atau persoalan yang memancing pertengkaran hebat Hubungan yang harus dipelihara dengan baik bukan hanya menyangkut antara suami dan istri, tetapi juga hubungan dengan anak-anak yang  kita kasihi.
Harus ada komitmen yang terpelihara terus yang pada intinya mengutamakan keterbukaan komunikasi untuk menyelesaikan segala perkara, dan masing masing pihak hendaknya bisa saling memahami kondisi keluarga secara utuh, baik kondisi keuangan, kesehatan, termasuk relasi-relasi dengan pihak luar. Dengan memahami kondisi-kondisi itu akan mengurangi kekerasan.
Memang banyak alasan orang melakukan tindakan keras yang ternyata menjadi kekerasan, yang diberlakukan suami misalnya terhadap anak-anaknya. Salah satu dari alasan itu misalnya untuk membiasakan anak-anak hidup berdisplin. Bahkan ada suami yang beralasan menghajar istrinya agar mengetahui sulitnya ekonomi sekarang ini, dan agar melatihnya hidup hemat. Tetapi apapun alasannya, kekerasan bukanlah jalan terbaik.
Perhatikanlah wajah anak-anak anda, mereka sangat polos dan sangat tergantung kepada anda sebagai orang tuanya. Lihatlah bahwa masa depannya sangat tergantung kepada bagaimana anda memberikan pengajaran melalui tindakan anda. Kalau anda berlaku kasar kepada istri anda di depan anak-anak anda, maka mereka juga akan belajar dari anda dan suatu saat mempraktekkannya bagi keluarganya. Seorang anak perempuan yang melihat ibunya tidak menghargai dan berlaku kasar terhadap ayahnya, jangan heran kalau kelak dia juga akan melakukannya terhadap suaminya.
Beberapa tahun belakangan ini ditemukan suatu gejala meningkatnya bayi yang terbunuh di tangan ibu kandung yang melahirkannya. Lama tidak terungkap adanya hubungan kekejian tersebut dengan kondisi kejiwaan yang dialami si ibu. Dini Tjokro seorang  ahli psikologi dari Universitas Indonesia dalam waktu wawancara televisi memberikan pendapat-pendapat yang mencengangkan. Pada prinsipnya, tidak ada seorang ibupun yang tidak mengasihi anak yang dia lahirkan. Kalau terjadi suatu pembunuhan yang dilakukan terhadap anaknya maka yang menjadi objek perhatian untuk mencari benang kusut itu bukanlah pembunuhan itu tetapi apa yang telah mengepung jiwa si ibu sehingga melakukannya. Kemungkinan besar himpitan ekonomi membuat siibu tidak normal. Tetapi yang lebih banyak adalah adanya disharmoni antara dirinya dengan suaminya. Ibu yang baru melahirkan cenderung mengalami depressi, kekuatiran tentang masa depan anak-anak. Peran suami yang mendukung dan memberikan perlindungan bagi siibu bahwa dia tidak akan membiarkan sendirian menjaga dan membesrkan anak-anak akan menjadikan situasinya tenang dan kemudian normal kembali. Namun pada kenyataannya banyak suami yang tidak perduli terhadap penderitaan istrinya dan membiarkannya menjalani kehidupan sendiri, bahkan menuntut istrinya bekerja seolah-olah tidak dalam keadaan lemah. Inilah faktor pemicu kekejaman tersebut.
Untuk menghindari kekerasan-kekerasan dalam rumah tangga, anda perlu memikirkan beberapa hal:
1.      Hadapilah setiap orang dalam rumah tangga dengan lemah lembut. Lemah lembut bukan berarti tidak tegas. Kelemah lembutan lebih mengacu kepada cara kita menyadarkan mereka tanpa membuat kontra atas perbuatan mereka yang mungkin mengundang kita melakukan kekerasan. Paulus mengatakan kepada Timotius agar sabar, penuh kelemah lembutan mengajar serta menuntun. Dengan cara itu, lebih besar kemungkinan mereka bertobat  dan melihat kebenaran. Hanya dengan kelemah lembutanlah kita bisa membebaskan mereka dari jerat iblis ( 2 Tim 2: 24-26).
2.      Berlaku tidak adil dan kasar terhadap anak anak ternyata akan menimbulkan persoalan baru di masa yang akan datang. Bisa saja mereka yang dulu kita perlakukan dengan kasar, suatu saat kita akan menuai akibatnya. Bukankah ada tertulis siapa yang menabur angin akan menuai puting beliung? (Hos 8:7), itu bisa terjadi kalau kelak anak-anak kita menjadi penjahat, pembunuh, pecandu narkoba. Tentu umur kita akan semakin pendek kalau berhadapan dengan keadaan anak-anak kita yang terlibat dalam keadaan seperti itu.
3.      Upayakan senantiasa memahami seluruh anggota keluarga, dan jangan bertindak kasar kalau seorang diantaranya menurut anda berprilaku kasar. Lihatlah dan selamilah terlebih dahulu situasi yang mereka sedang alami, sebab bisa saja tindakan mereka merupakan konpensasi dari situasi tersebut yang terbawa hingga ke rumah. Disini justru kasih andalah yang paling dibutuhkan, membantunya menyelesaikan persoalannya bukan membalasnya dengan kekerasan pula. Kalau kekerasan menjadi alternatif tindakan anda maka tidak bisa lagi terbayangkan puncak  persoalan itu.
4.      Kalau memang dibutuhkan penanganan yang khusus, hubungilah pendeta anda agar pendeta mengadakan konseling. Bila itu juga dianggap masih belum cukup, jangan ragu, hubungilah orang yang bisa memberi jasa pelayanan menangani anak-anak kita  yang kita anggap bermasalah. Hubungilah misalnya psikolog. Mereka telah belajar banyak mengenai perkembangan jiwa dan mengani permasalahan-permasalahan yang terjadi.
5.      Jangan lupa berdoalah senantiasa bagi kebaikan anak anak itu. Doa sangat efektif merobah prilaku yang kurang baik. Sesekali ucapkan nama-nama mereka di dalam doa anda, harapan-harapan yang anda idamkan di masa depan mereka. Itu akan tertanam dalam dan memotivasi hidup lebih baik lagi.




0 komentar:

Posting Komentar